Selasa, 20 Maret 2012

Dampak Pemberantasan Korupsi Bagi Pendidikan


Dampak Pemberantasan Korupsi Bagi Pendidikan
( Dr. Dian Indihadi, M.Pd )

Korupsi sudah bukan stigma, saat ini korupsi sudah diterjemahkan dalam bahasa hukum sehingga korupsi sudah dapat dibuktikan diruang pengadilan. Apabila korupsi dapat dibuktikan berdasarkan pasal-pasal yang didakwakan maka pelaku yang terlibat dalam korupsi tersebut akan menerima sanksi hukum para pelaku korupsi yang terbukti terlibat dalam tindak korupsi mendapat hukuman kurungan penjara dan uang denda akan pelanggaran yang dilakukan.
Negara kita adalah Negara hukum, maka tidaka da pengecualian bagi warga negara  untuk kebal atau bebas dari hukum. Jabatan, kekuasaan atau ketokohan hanyalah sebuah atributif atau amanah yang dilekatkan kepada warga negara sehingga itu tidak menjadi perisai untuk kebal atau bebas dari hukum yang berlaku di negara kita. Seorang pejabat, pimpinan, ataupun tokoh memiliki kelebihan dalam memperoleh hukuman apabila itu dibandingkan dengan rakyat (warga) biasa. Pejabat, pimpinan atau tokoh memperoleh hukuman lebih berat dibandingkan rakyat biasa apabila itu dibuktikan melanggar hukum.
Disadari atau tidak disadari korupsi sudah merambah dimana-mana, tidak terkecuali dalam wilayah pendidikan. cepat ataupun lambat, kasus-kasus korupsi di wilayah pendidikan akan diungkap dan diselesaikan berdasarkan hukum. Perlahan tapi pasti kasus korupsi yang terjadi disekolah sebagai sebuah institusi pendidikan akan diungkap dan diselesaikan berdasarkan hukum. Oknum pejabat, pimpinan ataupuntokoh yang dibuktikan terlibat alam kasus korupsi tersebut akan memperoleh hukuman.
Diandaikan, penggunaan uang BOS ( Bantuan Operasional Sekolah ) diungkap dan diselesaikan berdasarkan Undang-Undang pemberantasan korupsi, maka pejabat dan pimpinan sekolah yang terlibat korupsi dikenai hukuman penjara dan uang denda. Siapa dan berapa pejabat dan pimpinan sekolah yang terlibat dalam korupsi uang BOS sudah ada dalam bayangan kita saat ini. Apabila hal itu diperluas wilayah kasusnya, tidak saja korupsi uang BOS dan diungkap dari setiap sekolah yang ada di Indonesia, kita pasti sudah memiliki jawaban untuk hal tersebut. Apakah pemerintah sudah memiliki anggaran yang cukup untuk membangun penjara, termasuk menyediakan petugasnya ? Apakah pengadilan mempunyai aparat penegak hukum yang memiliki nurani untuk mengadili para pahlawan tanpa tanda jasa?
Diperlukan solusi alternatif untuk penyelesaian kasus korupsi yang melibatkan oknum pendidikan. dampak pemberantasan korupsi tersebut akan bersentuhan langsung dengan pencapaian tujuan pendidikan dan stabilitas pencapaian tujuan pendidikan dan stabilitas penyelenggaraan pembelajaran di sekolah. Supremasi hukum di Negara ini harus tetap dijaga, tidak ada pengecualian bagi warga negara untuk bebas dari sanksi hukum. Para siswa tidak boleh kehilangan guru mereka dan pembelajaran di sekolah harus berjalan bagi para siswa. Menurut penulis solusi terbaik untuk hal tersebut, pemerintah dan DPR segera membuat - aturan khusus untuk menyelesaikan dampak pemberantasan korupsi bagi pendidikan. alasan mendasar guru terlibat kasus korupsi disekolah dasar karena guru harus merangkap jabatan fungsional dan struktural  (keodministrasi selainmenjadi pendidik). Modus operan dikorupsi yang dilakukan guru oleh sebagian besar akibat pemenuhan tuntutan jabatan struktural bukan memperkaya diri guru. Tidak sedikit guru yang terlibat dalam kasus korupsi, guru tersebut tidak menjadi kaya bahkan lebih menderita hidup maupun kehidupannya. Penulis berharap guru tetap kita tempatkan sebagai figur “ Ing ngarsa sung tulodo, Ing madya wangun karso, Tut wuri Handayani”.



Dr Dian Indihadi, M.Pd.
Dosen PGSD UPI Tasikmalaya

Kandungan Plagiarisme dalam RPP


Kandungan Plagiarisme
Dalam RPP Guru
( Dr. Dian Indihadi, M.Pd)



Plagiarisme merupakan bentuk pelanggaran hak cipta, mengutip pendapat dari buku, artikel atau situs internet dengan mengabaikan atau tidak menuliskan nama atau sumber kutipan dapat dipandang sebagai pelanggaran hak cipta. Pelanggaran hak cipta tersebut masih sering dijumpai dalam lingkungan pendidikan secara berjamaah dan berstruktur.
Guru memiliki kewajiban untuk membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Guru Sekolah Dasar (SD) membuat RPP sejumlah mata pelajaran yang ada dalam setiap jenjang kelas. Apabila mata pelajaran dalam jenjang kelas tertentu berjumlah delapan mata pelajaran, maka guru hsrus membuat delapan RPP. Apabila setiap mata pelajaran itu memiliki  enam topik atau pokok bahasan maka guru harus membuat enam RPP atau empat puluh delapan RPP untuk setiap mata pelajaran.
Salah satu komponen RPP adalah uraian bahan ajar atau materi pokok dalam komponen tersebut, guru harus mendeskripsikan atau menguraikan bahan ajar yang akan digunakan dalam pembelajaran di kelas. Ternyata teknik pendeskripsian atau penguraian bahan ajar dalam RPP memiliki variasi. Ada pendeskripsian atau penguraian bahan ajar dibuat secara rinci, juga ada bahan ajar yang dideskripsikan atau diuraikan secara singkat oleh guru dalam RPP.
Ada kecenderungan bahan ajar yang dideskripsikan atau diuraikan dalam RPP merupakan hasil kutipan dari buku, artikel atau situs internet. Sehingga itu dipandang sebagai hak cipta orang lain, guru mengutipnya untuk dideskripsikan atau diuraikan sebagai bahan ajar dalam RPP. Atas dasar itu, maka nama atau sumber kutipan harus dituliskan oleh guru yang mengutipnya. Berdasarkan temuan dilapangan, pengabaian atau penghilangan nama atau sumber kutipan masih sering dijumpai sehingga hal tersebut dapat diindikasikan sebuah pelanggaran hak cipta. Oleh karena itu, kandungan plagiarisme dalam RPP tersebut sulit dihindari.
Selain dari komponen bahan ajar, kandungan plagiarisme juga terdapat dalam penulisan pustaka atau rujukan yang dituliskan dalam RPP tidak sesuai dengan kutipan yang terdapat dalam bahan ajar. Selain hal tersebut menyesatkan kepada pembaca, kesalahan pustaka atau sumber rujukan merupakan pelanggaran hak cipta. Mempertimbangkan kandungan bukti tersebut, maka guru dapat ditetapkan sebagai plagiat sekaligus plagiator hak cipta intelektual.
Apabila fenomena plagiarisme diurai lebih rinci, maka hal itu akan menggambarkan suatu pelanggaran hak cipta berjamaah dan berstruktur. Dipandang plagiarisme berjamaah karena pelangaran hak cipta tersebut dilakukan secara bersama tidak saja dilakukan oleh guru, tetapi pihak kepala sekolah maupun Dinas Pendidikan. Sebagai penandatangan dalam RPP, kepala sekolah menjadi pejabat  yang berwenang melegalisasi plagiarisme. Pembiaran pelanggaran hak cipta melalui plagiarisme tersebut selayaknya juga tidak dilakukan oleh Dinas Pendidikan, tetapi pihak dinas terkait tidak melakukan langkah pencegahan. Bahkan tidak jarang RPP yang dikeluarkan oleh dinas pendidikanpun sebagai model  RPP untuk guru disekolah memiliki kandungan plagiarisme. Atas dasar itu, fenomena pelanggaran hak cipta yang dilakukan tersebut dipandang berstruktur.
Solusi untuk mengatasi plagiarisme berjamaah dan berstruktur dalam RPP tersebut, pertama menolak perbuatan pelanggaran hak cipta (plagiat) dengan cara tidak melakukan plagiarisme. Kedua, menghentikan plagiarisme yang sudah ada saat ini dengan cara menarik semua RPP yang memiliki kandungan pelanggaran hak cipta kemudian memusnahkannya. Sedangkan ketiga, melakukan kegiatan pembebas plagiarisme dengan cara guru membuat RPP baru yang benar-benar terbebas dari plagiarisme. Untuk kepala sekolah juga harus menandatangani surat keterangan yang menyatakan bahwa RPP tidak memiliki kandungan plagiarisme. Adapun dinas Pendidikan segera membuat RPP yang tidak memiliki kandungan pelanggaran hak cipta sehingga RPP tersebut dapat dijadikan model oleh para guru. Semoga hal tersebut dapat direalisasikan.





Penulis,
Dr. Dian Indihadi, M.Pd.
Dosen PGSD UPI Tasikmalaya

Minggu, 18 Maret 2012

Kiat Guru Melakukan Plagiarisme


KIAT GURU MELAKUKAN PLAGIARISME
( Dr. Dian Indihadi, M.Pd. )


Plagiarisme merupakan cara pandang terhadap pelanggaran hak cipta. Salah satu pelanggaran hak cipta adalah penggunaan gagasan, ide atau pendapat orang lain tanpa mengakui atau menyebutkan sumber atau pemilik gagasan, ide atau pendapat. Pelangaran tersebut sering kali ditemukan dalam kegiatan berbahasa tulis ditentukan oleh penulis dan pembaca melalui cara penyampaian isi atau pesan dalam tulisan.
Pelanggaran hak cipata dalam berbahasa tulis dapat dibuktikan melalaui pengabaian atau penghilangan identitas sumber pesan dalam tulisan sehingga tulisan tersebut seolah-olah menjadi milik penulis padahal bukan. Karena pesan tersebut milik sumber atau orang lain (kutipan). Pengabaian atau penghilangan sumber kutipan tersebut diakibatka oleh kekhilafan (kelalaian) dan kesengajaan. Kekhilafan adalah pelanggaran hak cipta (kutipan) diakibatkan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis atau kecerobohan penulis dalam tata cara (teknik) pengutipan sumber sehingga terjadi pelanggaran hak cipta. Sedangkan kesengajaan diakibatkan bukan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis atau tata cara penulis dalam tata cara pengutipan sumber melainkan penulis sengaja menghilangkan atau mengabaikan sumber secara sadar sehingga terjadi pelanggaran hak cipta. Pelanggaran tersebut dapat diidentifikasi melalaui hasil tulisan yang sudah di publikasikan.
Pembaca memiliki hak untuk membuat justifikasi terhadap pesan (isi) dalam sebuah tulisan. Setelah sebuah tulisan dibaca, pembaca memiliki hak untuk membuat keputusan perihal ada atau tidak ada pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh penulis. Melalui tata cara penulisan, pembaca dapat menentukan bukti pelanggaran hak cipta tersebut. Oleh karena itu, pembaca dapat dipandang sebagai penyebab ada atau tidak ada plagiarisme. Selama pembaca tidak membuat justifikasi terhadap pesan (isi) tulisan maka pelanggaran hak ciptapun tidak akan ada, sehingga plagiarisme tidak akan terjadi.
Plagiarisme dapat dihindari melalui pendidikan. Ingat bahwa pendidikan memiliki fungsi utama sebagai konservasi budaya dan kreasi budaya. Melalui pendidikan, cipta, karsa dan karya manusia dapat dikendalikan. Dengan konservasi pendidikan harus mampu “ngamumule” (melestarikan) cipta, karsa dan karya manusia (budaya) yang dianggap baik. Dengan kreasi, pendidikan harus mampu “nyiptakeun” (mengembangkan) cipta, karsa dan karya manusia (budaya) yang dianggap tidak baik. Guru adalah pelaksana pendidikan. melalui pembelajaran guru dapat mengimplementasikan kedua fungsi pendidikan tersebut, sehingga peserta didik yang dihasilkan dapat memenuhi tuntutan kehidupan saat ini. Oleh karena itu, guru dapat menghindari plagiarisme melalui proses pembelajaran.
Proses pembelajaran merupakan sebuah model pengujian plagiarisme. Guru maupun siswa yang ada dalam proses pembelajaran dapat memerankan tokoh pembaca dan penulis. Dengan peran tokoh tersebut, guru maupun siswa dapat melakukan justifikasi terhadap pelanggaran hak cipta melalui hasil tulisan atau sumber bacaan. Setiap pesan yang terdapat dalam tulisan atau sumber tersebut dapat diverifikasi ada atau tidak ada pelanggaran hak cipta. Guru memiliki peran utama untuk memerankan tokoh tersebut sehingga tulisan atau bacaan yang digunakan oleh guru harus sudah tidak memiliki indikasi pelanggaran hak cipta. Demikian juga guru dapat bertindak tutur dalam pembelajaran harus membebaskan dari hak cipta. Guru selalu menyebutkan sumber kutipan dalam bertindak, tutur maupun dalam tulisan. Sehingga pelanggaran hak cipta dapat dihindari.
Selain itu guru dapat membiasakan siswa bebas dari plagiarisme. Ketika siswa belajar membaca maupun menulis, siswa dibiasakan untuk menolak pelanggaran hak cipta. Ketika siswa belajar membaca, siswa dibiasakan untuk menjustifikasi setiap sumber bacaan ada atau tidak ada pelanggaran hak cipta. Demikian juga pada saat siswa belajar menulis, siswa tidak melakukan pelanggaran hak cipta tersebut. Siswa juga dibiasakan pada saat bertindak tutur untuk tidak melakukan pelanggaran hak cipta. Siswa dibiasakan untuk menyebutkan atau menuliskan sumber kutipan.
Plagiarisme masih bisa dilawan melalui pendidikan. guru maupun siswa merupakan kunci penentu pendidikan dalam mewujudkan tujuan. Apabila pendidikan ditujukan untuk menghapus plagiarisme, maka guru maupun sisiwa menjadi penentunya.
Penulis meyakini guru maupun siswa memiliki potensi besar untuk melawan plagiarisme. Guru lebih berpeluang untuk melakukan perlawanan terhadap plagiarisme melalui pembelajaran. Adapun kiat guru melawan plagiarisme seperti uraian dalam tulisan ini. Semoga berhasil, selamat berjuang

Penulis
Dian Indihadi
Dosen PGSD UPI Tasikmalaya

Plagiarisme


KIAT GURU MELAKUKAN PLAGIARISME
( Dr. Dian Indihadi, M.Pd. )


Plagiarisme merupakan cara pandang terhadap pelanggaran hak cipta. Salah satu pelanggaran hak cipta adalah penggunaan gagasan, ide atau pendapat orang lain tanpa mengakui atau menyebutkan sumber atau pemilik gagasan, ide atau pendapat. Pelangaran tersebut sering kali ditemukan dalam kegiatan berbahasa tulis ditentukan oleh penulis dan pembaca melalui cara penyampaian isi atau pesan dalam tulisan.
Pelanggaran hak cipata dalam berbahasa tulis dapat dibuktikan melalaui pengabaian atau penghilangan identitas sumber pesan dalam tulisan sehingga tulisan tersebut seolah-olah menjadi milik penulis padahal bukan. Karena pesan tersebut milik sumber atau orang lain (kutipan). Pengabaian atau penghilangan sumber kutipan tersebut diakibatka oleh kekhilafan (kelalaian) dan kesengajaan. Kekhilafan adalah pelanggaran hak cipta (kutipan) diakibatkan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis atau kecerobohan penulis dalam tata cara (teknik) pengutipan sumber sehingga terjadi pelanggaran hak cipta. Sedangkan kesengajaan diakibatkan bukan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis atau tata cara penulis dalam tata cara pengutipan sumber melainkan penulis sengaja menghilangkan atau mengabaikan sumber secara sadar sehingga terjadi pelanggaran hak cipta. Pelanggaran tersebut dapat diidentifikasi melalaui hasil tulisan yang sudah di publikasikan.
Pembaca memiliki hak untuk membuat justifikasi terhadap pesan (isi) dalam sebuah tulisan. Setelah sebuah tulisan dibaca, pembaca memiliki hak untuk membuat keputusan perihal ada atau tidak ada pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh penulis. Melalui tata cara penulisan, pembaca dapat menentukan bukti pelanggaran hak cipta tersebut. Oleh karena itu, pembaca dapat dipandang sebagai penyebab ada atau tidak ada plagiarisme. Selama pembaca tidak membuat justifikasi terhadap pesan (isi) tulisan maka pelanggaran hak ciptapun tidak akan ada, sehingga plagiarisme tidak akan terjadi.
Plagiarisme dapat dihindari melalui pendidikan. Ingat bahwa pendidikan memiliki fungsi utama sebagai konservasi budaya dan kreasi budaya. Melalui pendidikan, cipta, karsa dan karya manusia dapat dikendalikan. Dengan konservasi pendidikan harus mampu “ngamumule” (melestarikan) cipta, karsa dan karya manusia (budaya) yang dianggap baik. Dengan kreasi, pendidikan harus mampu “nyiptakeun” (mengembangkan) cipta, karsa dan karya manusia (budaya) yang dianggap tidak baik. Guru adalah pelaksana pendidikan. melalui pembelajaran guru dapat mengimplementasikan kedua fungsi pendidikan tersebut, sehingga peserta didik yang dihasilkan dapat memenuhi tuntutan kehidupan saat ini. Oleh karena itu, guru dapat menghindari plagiarisme melalui proses pembelajaran.
Proses pembelajaran merupakan sebuah model pengujian plagiarisme. Guru maupun siswa yang ada dalam proses pembelajaran dapat memerankan tokoh pembaca dan penulis. Dengan peran tokoh tersebut, guru maupun siswa dapat melakukan justifikasi terhadap pelanggaran hak cipta melalui hasil tulisan atau sumber bacaan. Setiap pesan yang terdapat dalam tulisan atau sumber tersebut dapat diverifikasi ada atau tidak ada pelanggaran hak cipta. Guru memiliki peran utama untuk memerankan tokoh tersebut sehingga tulisan atau bacaan yang digunakan oleh guru harus sudah tidak memiliki indikasi pelanggaran hak cipta. Demikian juga guru dapat bertindak tutur dalam pembelajaran harus membebaskan dari hak cipta. Guru selalu menyebutkan sumber kutipan dalam bertindak, tutur maupun dalam tulisan. Sehingga pelanggaran hak cipta dapat dihindari.
Selain itu guru dapat membiasakan siswa bebas dari plagiarisme. Ketika siswa belajar membaca maupun menulis, siswa dibiasakan untuk menolak pelanggaran hak cipta. Ketika siswa belajar membaca, siswa dibiasakan untuk menjustifikasi setiap sumber bacaan ada atau tidak ada pelanggaran hak cipta. Demikian juga pada saat siswa belajar menulis, siswa tidak melakukan pelanggaran hak cipta tersebut. Siswa juga dibiasakan pada saat bertindak tutur untuk tidak melakukan pelanggaran hak cipta. Siswa dibiasakan untuk menyebutkan atau menuliskan sumber kutipan.
Plagiarisme masih bisa dilawan melalui pendidikan. guru maupun siswa merupakan kunci penentu pendidikan dalam mewujudkan tujuan. Apabila pendidikan ditujukan untuk menghapus plagiarisme, maka guru maupun sisiwa menjadi penentunya.
Penulis meyakini guru maupun siswa memiliki potensi besar untuk melawan plagiarisme. Guru lebih berpeluang untuk melakukan perlawanan terhadap plagiarisme melalui pembelajaran. Adapun kiat guru melawan plagiarisme seperti uraian dalam tulisan ini. Semoga berhasil, selamat berjuang

Penulis
Dian Indihadi
Dosen PGSD UPI Tasikmalaya